Selasa, 21 April 2009

Kartini Dimata Ku

Kartini Dimataku Ku

Sosok wanita kelahiran Jepara yang lebih dikenal dengan sebutan RA. Kartini ini adalah figur wanita Indonesia yang menjadi panutan bagi bangsa Indonesia. Perjuangan beliau dalam memperjuangkan derajat kaum wanita, mengangkat harkat dan derajat wanita tidak diragukan lagi. segala usahanya yang bertujuan untuk membawa wanita layak dipandang oleh masyarakat luas, wanita dapat bersekolah, wanita mampu dan layak menduduki berbagai kegiatan yang dulu “katanya” hanya layak dilakukan oleh kaum pria saja. Perjuangan beliau amat sangat terasa sekarang, banyak sekali kaum wanita para kartini ini menjalankan kegiatan-kegiatan yang beraneka ragam seperti pilot, nahkoda, supir, dan masih banyak lagi. Wanita adalah kaum yang layak melakukan kegiatan-kegiatan yang bukan hanya sekedar kegiatan rumah tangga saja.
Perjuangan kartini amat sangat terasa sekarang, perjuangannya untuk mengangkat derajat wanita sangat terasa saat ini. sudah selayaknya perjuangan beliau kita hargai, kita kenang, dan kita jadikan semangat bagi para wanita untuk selalu berjuang mendapatkan apa yang dicita-citakan. Semangat kartini harus ada pada wanita-wanita zaman sekarang, bukan hanya sebagai symbol yang dijadikan masa lalu belaka.
Bagitulah Kartini Bangsa Indonesia.
Bagaimana Kartini Dimataku?
Kartini bagiku adalah orang yang berharga dalam hidupku. Kartini bagiku adalah Bundaku.
Beliau adalah orang yang banyak memberikan pelajaran berharga untuk ku. Semangat untuk menjalani kehidupan, kesabaran untuk menjalani rintangan dan cobaan, bagaimana menjadi wanita yang kuat, semangatnya adalah semangatku. Beliau adlah Kartini Ku.
Terimakasih Bunda. Untuk Segalanya.

TINJAUAN UMUM TENTANG GADAI SAWAH

TINJAUAN UMUM TENTANG GADAI SAWAH


A. Pengertian Gadai
Gadai adalah hubungan hukum antara seseorang dengan tanah
kepunyaan orang lain, yang telah menerima uang gadai dari padanya. Selama
uang gadai belum dikembalikan, tanah tersebut dikuasai oleh “pemegang gadai”.
Selama itu hasil tanah seluruhnya menjadi hak pemegang gadai. Pengembalian
uang gadai atau yang lazim disebut “penebusan”, tergantung pada kemauan dan
kemampuan pemilik tanah yang menggadaikan.

Gadai dapat diartikan menyerahkan tanah dari penggadai (pemilik tanah)
kepada pemegang gadai (pemegang gadai) untuk menerima pembayaran sejumlah
uang secara tunai dari pemegang gadai, dengan ketentuan penggadai tetap berhak
atas pengembalian tanahnya dengan jalan menebusnya kembali dari pemegang
gadai. Pada dasarnya besar uang tebusan adalah sama dengan uang yang
diserahkan pemegang gadai pada awal transaksi gadai kepada penjual gadai, tidak
ada perbedaan nominal uang.

Uang yang akan diterima penggadai tentunya adalah yang disepakati
kedua belah pihak. Sedangkan waktu pengembaliannya tergantung pada kesediaan
dan kemampuan pihak penggadai. Dengan demikian waktu gadai adalah tidak
pasti. Semakin lama waktu gadai tentunya membawa resiko tersendiri yaitu

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum
Tanah, Ctk. XII, Djambatan, Jakarta, 1994, hlm. 730

perubahan nilai mata uang yang berakibat berbedanya besaran uang dari transaksi
awal gadai dengan transaksi pengembalian tanah (tebusan).

Imam Sudiyat menjelaskan pengertian transaksi tanah adalah semacam
perjanjian timbal balik yang sifatnya riil/konkrit yang merupakan perbuatan tunai
atau kontan dengan tanah sebagai obyeknya. Pengertian yang dijelaskan oleh
Imam Sudiyat ini lebih menekankan pada tanah sebagai objeknya. Gadai yang
akan disinggung di sini juga hubungan gadai dengan objek tanah tepatnya sawah
pertanian.

Kata transaksi pada pengertian di atas menjelaskan adannya perbuatan
kedua belah pihak (penggadai dan pemegang gadai) dimana ada penyerahan dan
pemegangan sesuatu yang dilakukan kedua belah pihak. Pada awal transaksi gadai
pihak penggadai akan menyerahkan penguasaan tanahnya kepada pemegang gadai
dan akan menerima sejumlah uang dari pemegang gadai, sementara pemegang
gadai akan menerima pengusaan atas tanah yang digadaikan dengan menyerahkan
sejumlah uang kepada pemilik tanah/penggadai.

Gadai adalah pinjam-meminjam uang dalam batas waktu tertentu dengan
menyerahkan barang sebagai tanggungan, jika telah sampai pada waktunya tidak
ditebus, barang itu menjadi hak yang memberi pinjaman.Pengertian gadai di atas
berbeda dengan pengertian gadai sawah yang diakui dalam hukum adat.

Kamus Besar Bahasa Indonesia, lihat juga Sudarsono, Kamus Hukum, ctk. IV, Rineka
Cipta, Jakarta, 2005, hlm. 135

Pengertian gadai di atas lebih menjelaskan perngertian gadai dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer).

Antara pengertian gadai dalam hukum adat dan KUHPer, ada banyak
perbedaan yang menonjol. Meskipun keduanya memiliki persamaan berupa
penggadaiaan sesuatu namun dalam pelaksanaan gadai sangat terlihat
perbedaannya. Gadai dalam hukum adat umumnya dilakukan dalam kehidupan
masyarakat pedesaan yang masih memegang teguh kebiasaan yang sudah lama
terjadi dan masih dilaksanakan. Sementara gadai dalam KUHPer lebih mengarah
pada pelaksanaan gadai yang dijalankan oleh lembaga pegadaian.

1. Persamaan pengertian gadai dalam Hukum Adat dan KUHPer
Pada dasarnya pelaksanaan gadai dalam Hukum Adat dan KUHPer
adalah perjanjian pinjam-meminjam uang. Penggadai sama-sama membutuhkan
sejumlah uang sehingga melakukan gadai sebagai usaha mendapatkan uang dalam
waktu singkat. Penggadai sebagai pihak yang meminjam uang menggadaikan
barang atau sawahnya. Sawah/barang yang digadaikan akan dikembalikan ke
penggadai dengan cara menebusnya dari pemegang gadai.

Dalam gadai baik menurut hukum adat dan KUHPer sama-sama
menyerahkan jaminan. Sawah/barang yang digadaikan adalah sebagai barang
jaminan. Penggadai akan menerima uang dari pemegang gadai dengan
Pasal 1150 KUHPer, Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seseorang berpiutang atas
suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang atau oleh seorang
lainnya atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk mengambil
pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan dari pada orang-orang berpiutang lainnya;
dengan pengecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk
menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana harus didahulukan.
diserahkannya jaminan atas pinjaman uang tersebut. Jaminan tersebut akan
dikuasai oleh pemegang gadai selama pelaksanaan gadai sampai ditebusnya
jaminan tersebut oleh penggadai.

Inisiatif pelaksanaan gadai berasal dari keinginan pihak penggadai.
Umumnya alasan pelaksanaan gadai karena didorong oleh adanya tuntutan
kebutuhan penggadai. Pemegang gadai hanya pasif menerima tawaran dari
penggadai. Setelah bertemunya pihak penggadai dan pemegang gadai maka antara
kedua pihak membuat kesepakatan atas pelaksanaan gadai. Ketika terjadi
kesepakatan antara penggadai dan pemegang gadai, maka terjadilah perjanjian
pelaksanaan gadai.

2. Perbedaan pengertian gadai dalam Hukum Adat dan KUHPer
No. Perbedaan Gadai Tanah Gadai KUHPer
1 Objek gadai Sawah atauTanah Barang bergerak
2 Penguasaan Penguasaan disertai hak
untuk memfaatkan
Hanya menguasai
(menyimpan dan
merawat)
3 Waktu gadai Gadai berakhir dengan
dibayarnya tebusan, tanpa
ada kepastian waktu
berakhirnya gadai
Gadai berakhir sesuai
dengan waktu yang
diperjanjikan dengan
disertai dengan
pembayaran tebusan
4 Para pihak Penggadai, pemegang
gadai dan dimungkinkan
adanya pihak ketiga,
contoh: sewa-menyewa
sawah, bagi-hasil
Penggadai dan
pemegang gadai
(lembaga gadai)

5 Resiko Tidak dapat menebus,
gadai tetap berlangsung
sampai ditebus oleh
penggadai, dapat
diselesaikan dengan juallepas
jika di inginkan
Tidak ditebus, barang
menjadi milik
pegadaian sebagai
pemegang gadai,
pegadaian melakukan
pelelangan

Tabel Perbedaan Gadai Tanah dengan Gadai KUHPer

Setelah adanya perjanjian gadai, penggadai akan menyerahkan jaminan
atas gadai tersebut. Perbedaan pertama adalah mengenai apa yang dijadikan
jaminan. Dalam gadai hukum adat yang dijadikan jaminan adalah tanah (sawah)
saja, hukum adat tidak mengenal pelaksanaan gadai yang dilakukan antara
individu dengan individu dengan objek barang bergerak. Sementara dalam
KUHPer yang dijaminkan berupa barang bergerak, barang bergerak disini dapat
dicontohkan seperti perhiasan, barang elektronik, dan lain sebagainya. Barang
bergerak adalah barang yang apabila dipindahkan maka tidak akan mengubah
bentuk dan fungsinya.

Jika ditinjau dari segi penguasaan benda yang menjadi jaminan pun
berbeda. Pemegang gadai adalah pihak yang menguasai benda yang dijadikan
jaminan. Pemegang gadai dalam hukum adat menguasai benda jaminan dan dapat
memanfaatan jaminan gadai (sawah). Sawah dapat dimanfaatkan dengan cara
menanaminya selama pelaksanaan gadai sampai penggadai mampu menebusnya.
Sementara dalam gadai KUHPer, penguasaan atas barang gadai tanpa adanya
pemanfaatan dari benda jaminan tersebut. Pelaksanaan gadai yang disebutkan
dalam KUHPer, pemegang gadai (lembaga gadai-pegadaian) hanya berkuasa dan
berkewajiban untuk menyimpan serta menjaga benda yang dijaminkan tanpa
adanya hak untuk memanfaatkan barang jaminan tersebut.

Waktu pelaksanaan gadai dalam hukum adat pada dasarnya tidak
ditentukan. Penggadai tidak berkewajiban menebus gadai dalam waktu tertentu.
pelaksanaan gadai berakhir ketika ada kemauan dan kemampuan penggadai untuk
menebus gadai, sehingga pelaksanaan gadai dalam hukum adat tidak dapat
dipastikan kapan berakhirnya. Berbeda dengan KUHPer, lamanya waktu gadai
ditentukan pada perjanjian yang disepakati penggadai dan pemegang gadai.
Penggadai berkewajiban menebus gadai sesuai dengan waktu yang diajukan oleh
pemegang gadai sesuai dengan yang diperjanjikan. Dapat disimpulkan bahwa
waktu gadai antara hukum adat dan KUHPer mempunyai ketentuan yang berbeda.

Para pihak dalam gadai adalah penggadai sebagai pihak pertama dan
pemegang gadai sebagai pihak kedua. Dalam pelaksanaan gadai hukum adat,
pemegang gadai dapat melakukan hubungan hukum lain dengan pihak ketiga.
Dengan catatan ketika penggadai menebusnya kembali maka pemegang gadai
harus mengembalikan sawah tersebut. Hubungan antara pemegang gadai dengan
pihak ketiga dapat berupa sewa-menyewa atau bagi hasil. Dalam perjanjian
dengan pihak ketiga, pemegang gadai tidak berkewajiban meminta persetujuan
dengan penggadai, penggadai hanya mempunyai hubungan dengan pemegang
gadai. Sebagai contoh bisa diadakannya perjanjian sewa sawah atau bagi hasil
sawah yang dilakukan pemegang gadai dengan pihak ketiga. Perbuatan hukum
yang dilakukan oleh pemegang gadai dengan pihak ketiga diperbolehkan selama
hanya sebatas berada dalam lingkup penguasaan. Ketika perbuatan hubungan
hukum yang dilakukan dengan pihak ketiga melebihi itu maka tidak
diperbolehkan, seperti perjanjian jual-beli antara pemegang gadai dengan pihak
ketiga. Hal tersebut tidak diperbolehkan karena melebihi penguasaan, perbuatan
jual-beli hanya bisa dilakukan oleh pemilik sawah atau tanah bukan penguasa
sawah atau tanah. Dalam KUHPer, pemegang gadai (pegadaian) tidak berhak
untuk memanfaatkan barang gadai apalagi sampai melakukan hubungan hukum
dengan pihak lain. Pemegang gadai hanya berhak menyimpan dan berkewajiban
menjaga barang yang digadaikan itu.

Perbedaan selanjutnya adalah konsekuensi ketidakmampuan penggadai
dalam menebus barang gadai. Pelaksanaan gadai hukum adat tidak mengatur
lamanya waktu gadai, gadai akan berakhir setelah penggadai menebus barang
gadai. Jika pengadai belum mampu menebus maka hubungan gadai tersebut akan
terus berlangsung. Apabila pemegang gadai membutuhan uang sementara
penggadai belum mampu menebusnya maka sawah gadai tersebut dapat dialihkan
hubungan gadainya, sering disebut dengan mengoper gadai. Pemegang gadai
menggadaikan lagi sawah tentunya dengan sepengetahuan pemilik sawah dalam
hal ini penggadai. Cara lain yang dapat ditempuh jika penggadai tidak mampu
menebus sawahnya adalah dengan jual-lepas. Pemegang gadai ingin mengakhiri
hubungan gadai sementara penggadai tidak mampu menebusnya maka dapat
diakhiri dengan jual-lepas. Penggadai menjual tanah tersebut ke pemegang gadai,
pemegang gadai akan menambah sejumlah uang untuk membeli sawah tersebut
sehingga harganya sesuai dengan harga jual pada waktu itu. Sedangkan dalam
pelaksanaan gadai dalam KUHPer, ketika penggadai tidak mampu membayar
tebusan barang gadai dalam waktu yang telah disepakati maka pegadaian sebagai
pemegang gadai akan melakukan lelang. Barang jaminan yang tidak ditebus pada
waktunya akan dilelang, hasil dari lelang akan digunakan untuk membayar uang
yang dipinjam penggadai dari pemegang gadai.